26
Dalam
dunia
kapitalisme,
hiburan
dan
bahkan
budaya
telah
menjelma
menjadi
industri.
Pada
konteks
ini,
Theodor
Adorno
dan Max
Horkheimer
mengatakan
budaya
industri
adalah
media
tipuan.
Budaya
telah
berubah
menjadi
alat
industri
serta
menjadi
produk
standar
ekonomi
kapitalis.
Dunia
hiburan
telah
menjadi
sebuah
proses reproduksi
kepuasan
manusia
dalam media
tipuan.
Hampir
tidak ada
perbedaan
lagi
antara kehidupan
nyata dan
dunia
yang
digambarkan
dalam
film yang
dirancang
menggunakan
efek
suara
dengan
tingkat
ilusi yang
sempurna sehingga tak terkesan imaginator.
Karl Marx
dan
pengikutnya
selalu
menganggap
keberadaan
media
menjadi
penunjang
bertahannya
budaya
populer
hingga
saat
ini dan
mengakibatkan
penurunan
selera
khalayak
terhadap
berbagai
hal.
Namun
hal
ini
ditentang
kaum
populis
yang melihat keberadaan
budaya pop sebagai
suatu hal yang
positif. Kubu
populis
memandang
bahwa
tidak ada salahnya
media
massa
melayani
selera
massa dalam masyarakat kapitalistik
dan demokratis.
Susan
Sontag
sebagai
pelopor
revisionisme
budaya
populer
dalam
bukunya
On
Culture
and
The
New
Sensibility
menganggap
bahwa
budaya
populer
tidak
sekedar
budaya
rendahan
yang tidak
memiliki
nilai. Sontag
menunjukkan
bahwa
budaya pop bisa mengangkat
isu-isu serius seperti yang dilakukan seni tinggi
dengan
membandingkan kesan
yang
ditimbulkan
lukisan
Rauschenberg
dengan
lagu-lagu
Supreme.
Selain
itu, Sontag
juga
memandang
keberadaan
budaya
pop
mampu menjadi perekat sosial.
Hingga
saat
ini, kaum
konservatif
dan
neokonservatif
terus
menyerang
kebudayaan
populer,
namun
anehnya
kekuatan
budaya
populer
semakin
kuat
dan
mengakar
pengaruhnya
kepada
miliaran
manusia.
Dan
anehnya
pula,
kebudayaan
populer
lebih banyak
berpengaruh
pada kelompok
orang
muda dan menjadi
pusat
|