etis, atau ilegal. Mereka menemukan
bahwa pada dasarnya ada tiga pendekatan
penyelidikan, yakni (1) posisi
naturalistik, yang menekankan bahwa definisi
penyimpangan seksual itu
bersifat bebas-nilai (value-free); (2) posisi normativistik,
yang
menekankan bahwa segenap penilaian tentang penyimpangan seksual itu
memuat nilai-nilai (value-laden); dan (3) posisi hibrida, yang
mengombinasikan
kedua posisi tersebut. Terdapat pula nuansa perdebatan
yang lain, yang
nampak
sepanjang penyusunan DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders)
pertama kalinya sampai dengan DSM Kelima, yakni (1) pendekatan patologis, yang
menekankan bahwa penyimpangan seksual merupakan penyakit, dan (2) pendekatan
teori
normalitas, yang menekankan bahwa ketidakwajaran seksual merupakan varian
normal
biologis dari variasi seksual. Lebih lanjut, dewasa ini
telah tercapai
kesepakatan bahwa, "non
normative sexuality need not
necessarily be a mental
disorder" (De Block & Adriaens, 2013, h. 293).
Variabel gangguan seksual secara operasional diturunkan dari konsep
Garos
(Garos, 1997; Garos & Stock, 1998; Garos, 2009). Alat ukur yang
dihasilkannya
adalah Garos Sexual Behavior Inventory (GSBI). GSBI dapat digunakan untuk klien
forensik maupun populasi umum (Davis,
2008; Western Psychological Services,
2012). Garos (dalam Davis, 2008)
menyatakan
"I think what sets this test apart is
that it's not targeted at one single group. This test is not restricted for use with any
one
clinical group, such as people with sexual dysfunctions or sexoffenders. The
GSBI was normed on the general population. As a
result,
it has a greater clinical
utility. It can tell you if you have a client that you should investigate more thoroughly
with regard to his or her sexual behavior."
|