16
Konsep wacana memang tidak bisa dilepaskan dari pemikiran sentral Foucault (1990)
yang melihat realitas sosial sebagai arena diskursif (discursive field) yang merupakan
kompetisi tentang bagaimana makna dan pengorganisasian institusi serta proses-proses
sosial itu diberi makna melalui cara-cara yang khas. Dalam pengertian yang demikian
ini, wacana merujuk pada berbagai cara yang tersedia untuk berbicara atau menulis
untuk menghasilkan makna yang didalamnya melibatkan beroperasinya kekuasaan untuk
menghasilkan objek dan efek tertentu (Weedon, 1987: 108). Dengan kata lain, wacana
melekatkan apa yang didefinisikan sebagai pengetahuan (knowledge) dan karena itu,
juga kekuasaan (power).
Melalui ini, wacana selalu menyertakan sebuah paket tentang kondisi-kondisi yang
membuat sesuatu menjadi mungkin dan kendala-kendala institusional serta aturan-aturan
internal tentang apa yang dapat dan tak dapat dikemukakan. Pemahaman tentang ikhwal
ini sangat penting untuk mengerti bagaimana apa yang dikemukakan dalam sebuah
pernyataan atau teks itu sesuai dengan seluruh jaringan yang di dalamnya memiliki
sejarah dan kondisinya sendiri tentang keberadaannya sebuah sejarah yang tentu saja
berbeda maknanya dengan yang digunakan para filsuf dan sejarahwan (Barret, 1991:
126). Hasilnya, menurut Flax (1992) setiap wacana selalu memuat sesuatu yang
memungkinkan (enabling) dan membatasi (limiting).
Mengikuti pemikiran Foucault (1979, 1980), Flax (1992) melihat bahwa aturan-
aturan yang terdapat dalam sebuah wacana memungkinkan orang memproduksi sebuah
pernyataan dan menghasilkan klaim kebenaran atasnya. Walaupun begitu, aturan-aturan
itu pula lah yang mengharuskan orang untuk tetap berada di dalam sistem yang sedang
beroperasi dan hanya menghasilkan pernyataan-pernyataan yang sesuai dengan aturan-
|