1.1.5.6. Kain Poleng
Kain Poleng dalam budaya Bali merupakan pencetusan ekspresi
penghayatan konsep Rwa Bhineda, suatu konsep keseimbangan antara
baik dan buruk, yang menjadi intisari ajaran tantrik (tantrayana).
Diharapkan d engan menjaga kesimbangan antara kebaikan dan
keburukan dapat menciptakan kesejahteran dalam kehidupan. Setelah itu
barulah muncul kain poleng sudhamala dan tridatu. Kehadiran kain
poleng sudhamala dan tridatuberdasarkan perkembangannya warna ini
juga mencerminkan tingkat p emikiran manusia, yakni dari tingkat
sederhana menuju perkembangan yang lebih sempurna.
Makna filosofis saput poleng rwabhineda adalah rwabhineda itu
sendiri. Menurut faham Hindu, rwabhineda itu adalah dua sifat yan g
bertolak belakang, yakni hitam-putih, baik-buruk, utara-selatan, panjang-
pendek, tinggi-rendah, dan sebagainya.
Kain Poleng Tridatu melambangkan ajaran Triguna yakni
satwam, r ajah, tamah. Warna putih identik dengan k esadaran atau
kebijaksanaan (satwam), warna merah adalah energi atau gerak (rajah)
dan warna hitam melambangkan penghambat (tamah).
Jika dikaitkan dengan kepercayaan Hindu Dewa Tri Murti,
warna merah melambangkan Dewa Brahma sebagai pencipta, warna
hitam lambang Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan warna putih
melambangkan Dewa Siwa sebagai pelebur. Dewa Tri Murti ini terkait
dengan kehidupan lahir, hidup dan mati.
Kain Poleng yang seakan-akan sudah menjadi b usana seragam
bagi pecalan g (petugas k eamanan desa adat) juga terilhami oleh konsep
ini, dimana seoran g yang dipercayai oleh warga untuk menjadi
pengaman
hendakn ya mampu den gan tegas memilah yang benar dan
buruk. Diharapkan pecalang bercermin pada saput poleng yang
dikenakan, yakni mengetahui adan ya rwabhineda, keadaan aman dan
kacau, baik maupun b uruk, yan g selanjutkan melalui kedewasaan
intelektual dan kesigapannya (celang), dap at mengendalikan situasi
sehingga ketertitaban Desa Pekraman dapat diwujudkan.
|