13
we love, and not because of anything that the belo ved other has to offer
us beyond themselves. (p. 248)
Lindholm menambahkan, "... falling ini love is an act of
imagination in which the other is invested with absolute value; the
beloved can even be loved for their very faults... As such, it is... akin to
the experience of religious ectasy" (p. 248).
Mula-mula, seorang antropolog tidak han ya mensalahartikan
cinta sebagai subjek pembelajaran, melainkan meragukan
keberadaannya. Ralph Linton (1936) menulis:
The Hero of modern American movie is always a romantic
lover... A cynic may suspect that any ordinary population the
percentage of individuals with capacity for romantic love of the
Hollywood type was about as large as that of persons able to throw
genuine epileptic fits. However, given a little social encouragement,
eithr one can be adequa tely imitated without the performer admitting
even to himself that the p erformance is not genuine (p. 175)
Ketika para antropolog akhirnya menyadari keberadaan cinta
pada setiap manusia, banyak yang meyakini hal tersebut hanya berlaku
pada kebudayaan barat (e.g., Hsu, 1983; Endelman, 1989). Mereka
berargumen bahwa cinta itu tidak dibutuhkan, tidak bernilai, hanya
berlaku pada kebudayaan primitif dimana mereka saling berbagi dengan
intim.
Terdap at keterkaitan antara ilmu sains bernama sosiobiologi
yan g mengklaim bahwa cinta itu universal, dan hasrat birahi dan
romantisme selalu berhubungan satu dengan lainnya (lihat Fisher, 1992;
Schopenhaver, 1966). Menurut pengetahuan sosiobiologi cinta adalah
suatu evolusi mekanis yang menjaga antara pr ia dan wanita untuk
saling menjaga, dan beranakcucu.
 |