20
banyak menjadi persoalan. Seorang Muslim juga masih bisa
melangsungkan pernikahan melalui Penghoeluegerecht. Namun
bagimana dengan seorang muslim atau muslimah yang tinggal di
lingkungan yang tidak agamis atau tinggal di daerah yang mayoritas
penduduknya non muslim, maka apakah juga harus melangsungkan
pernikahan menurut adat daerah tersebut yang mungkin bertentangan
dengan hukum Islam?
Dalam Indesche Staatsregeling
(IS) pasal 131 ayat 2 ditulis;
Untuk golongan bangsa Indonesia asli dan Timur Asing, jika
ternyata kebutuhan kemasyarakatan mereka menghendakinya,
dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa (Burgerlijk
Wetboek/ BW/ Kitab Undang-Undang Hukum Perdata) dinyatakan
berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-
perubahan.... Kemudian dalam ayat 4 disebutkan; Orang Indonesia
asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan
dibawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropah,
diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk
bangsa Eropa...
Menurut peraturan ini siapapun bisa menundukkan diri terhadap
undang-undang Eropa, baik karena kehendak mereka sendiri maupun
secara bersama. Ini artinya seorang muslim atau muslimah boleh
menikah dengan menggunakan BW sebagai landasan hukumnya,
sementara BW/ KUH-Perdata sendiri tidak mengatur
tentang
hukum nikah beda agama. Maka dapat disimpulkan bahwa undang-
undang yang ada ketika itu tidak protektif terhadap umat Islam,
karena membuka peluang bagi terjadinya nikah beda agama dan
pemurtadan melalui pernikahan, baik untuk muslim maupun
muslimah.
Walaupun wewenang Penghoeluegerecht
(Pengadilan Agama)
dalam bidang munakahat
(perkawinan) tidak turut dihapus, namun
tidak ada peraturan yang bersifat megikat dan memaksa bahwa umat
|