50
Tahun 1980-an Pak Nandir
tidak
lagi
mengajar silat di Seminari,
lalu Frater Hadiwijaya
melanjutkannya, sekaligus
mencoba
mewujudkan
ide
pencak
silat
sebagai
wahana
kerasulan.
Pada
tahun
1983
Fr.
Hadi
diminta
untuk
mengajar pencak
silat
di
Seminari, dalam rangka
pembinaan
di
bidang
humaniora.
Ternyata
dalam
penggodokan pendidikan
calon
Imam
di
seminari,
ditanamkan rasa
cinta
tanah
air,
rasa
hormat,
serta
rasa
tanggung
jawab
akan
nilai
nilai
budaya
bangsa
Indonesia,
sekaligus
mengakar pada
iman
akan
wafat
dan
kebangkitan
Tuhan Yesus.
Maka mulailah
latihan beladiri pencak silat diajarkan. Seminaris
yang
mengikuti
latihan
sebanyak
73
orang.
Tetapi
Frater
hanya
bisa
mengajar beladiri
sekali
sebulan.
Secara
teoritis
tidak
mungkin
mengajar
beladri
hanya
dua
jam
saja
selama
satu
bulan.
Tetapi
di
lain
pihak
sebagai
calon
Imam
mereka
di
didik
untuk
mampu
memecahkan
persoalan.
Maka
latihan
itupun
tetap
berjalan
dengan
terseok-seok,
akibatnya
banyak
seminaris
yang
mengundurkan
diri, tidak mau latihan pencak silat lagi.
Memasuki
tahun
1984,
yang
bertahan
dalam
latihan
tinggal
11
orang.
Lalu
mulailah
diadakan
peningkatan
latihan
beladiri
yang
lebih
berat
lagi
yang
dilaksanakan
di
Kaliurang,
lereng
Gunung
Merapi
jawa
Tengah,
didampingi seorang
dokter
dan
seorang
psikolog dari
Universitas
Gajah
Mada
Yogyakarta.
Akhirnya
latihan
mencapai
tahap
akhir,
berlangsung di
Parangtritis
Yogyakarta.
Dari
sini
terciptalah
jurusjurus
otentik
Seminari,
dibuat
oleh
Seminaris sendiri dan Frater
yang
masih
muda,
miskin pengalaman,
namun
memiliki kebulatan
tekad
mau
berbakti
kepada
Seminari,
mau
berkorban demi
iman
dan
cinta
suci
kepada
Ibu
Pertiwi.
Dari sini
muncul produk
beladiri Katolik ciptaan Seminaris. Kemudian muncul
gagasan bersama ide menguak masa depan. Beladiri dijadikan sarana kerasulan.
|