Home Start Back Next End
  
52
melalui Korea pada abad keenam. Perbedaan-perbedaan antara dewa-dewa asal (Buddha
dan
Hindu)
dengan
dewa-dewa
Shichifukujin
dalam Shinto
dikarenakan
penyesuaian
kondisi masyarakat Jepang.
Faktor-faktor yang mendorong terjadinya asimilasi yaitu karena masyarakat Jepang
juga
memiliki kepercayaan
yang sama yaitu percaya kepada dewa-dewa. Oleh karena itu,
dewa-dewa dalam agama
lain pun dapat dengan baik
membaur
menjadi satu. Lalu, sikap
masyarakat   Jepang   yang   cukup   terbuka   terhadap   kepercayaan   dari   luar   juga
menyebabkan proses asimilasi berjalan dengan baik. Sikap terbuka masyarakat Jepang
terhadap agama Buddha
dimulai ketika Pangeran Shotoku menerima gambaran Buddha
dari
raja
di
Korea
untuk
menciptakan
perdamaian diantara dua kerajaan. Kemudian
Pangeran Shotoku memerintahkan pendeta-pendeta untuk pergi ke Cina mempelajari
agama Buddha. Pada akhirnya, pada awal abad kedelapan, pendeta Buddha Cina banyak
mendirikan Buddha Cina di Jepang.
Faktor  penting  lain  yang  mendorong  terjadinya  proses  asimilasi  tersebut  yaitu
konsep pemikiran orang Jepang terhadap agama. Orang Jepang sangat setia terhadap
ritual
tradisi
agamanya
seperti
orang
lain
di dunia. Akan tetapi disisi lain, sebagian
masyarakat
tidak
pernah
menganggap
bahwa
jika
tidak
mengunjungi
kuil
pada
saat
tahun baru atau melanggar apa yang telah diajarkan agamanya, mereka akan dianggap
sebagai mushinsha (orang kafir).
Hotei
merupakan
dewa
kesenangan
dan
kebahagiaan
dalam Shichifukujin.
Hotei
dalam agama
Buddha disebut
Budai atau Kaishi. Secara
literatur, karakter tulisan dalam
namanya
mengandung arti yaitu tas kain.
Hotei
memiliki
ciri-ciri
yaitu
kepala
botak,
memiliki
jambang,
memiliki
dahi
yang
sempit,
wajah
yang
tersenyum
dan
memiliki
perut
yang
besar
sehingga
perutnya
selalu
terlihat
menonjol
dan
setengah
telanjang
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter