19
keselamatan
pada
dewa
yang
mereka
yakini,
sedangkan
matsuri
dalam kelompok
desa
dipimpin oleh seorang pemimpin kuil (toya) yang dihormati di desa itu dengan tujuan
untuk
memohon
keselamatan
pada kami
yang diyakini. Matsuri
ini dapat pula berupa
upacara
memanjatkan
rasa
syukur
atas
berhasilnya
panen
pada
tahun
itu
(Yudhasari,
2003: 72).
Penyelenggaraan upacara matsuri pada mulanya tidak dilakukan di jinja atau kuil
Shinto melainkan dilakukan di tempat yang diyakini sebagai tempat turunnya para dewa.
Tempat-tempat itu biasanya berupa pohon-pohon yang tinggi, batu karang, dan tempat
yang tinggi seperti
gunung. Untuk
menandai tempat-tempat
itu, biasanya ditandai
dengan tali jerami yang dilingkarkan pada pohon atau batu yang digantungi kertas-kertas
suci
(shimenawa).
Shimenawa
diyakini
memiliki
kekuatan
untuk mengusir
segala
pengaruh jahat. Oleh penduduk setempat, di tempat-tempat seperti itu diberikan sesaji.
Lama
kelamaan
tempat
itu
menjadi
tempat yang
sering
didatangi
oleh
masyarakat.
Akhirnya, di tempat itulah didirikan jinja atau kuil Shinto (Yudhasari, 2003: 75).
Ono
(1992:68-69)
menjelaskan
bahwa
di
dalam
matsuri
biasanya
terdapat
upacara pemindahan kami dari kuil ke dalam sebuah mikoshi yang
merupakan jinja kecil
untuk
kami.
Sebagai
simbol
kami,
di
dalam mikoshi
ditempatkan
selembar
kertas
yang
bertuliskan
nama
kami
tersebut.
Kemudian
mikoshi
ini
akan
dibawa
ke
sebuah
tempat
yang
akan menjadi
tempat
peristirahatan
sementara
untuk kami
(otabisho) sebelum
dikembalikan
ke
kuil.
Mulanya matsuri
terdiri dari dua bagian dasar: pemberian
persembahan, puji-pujian, tarian dan naorai. Kemudian bagian ketiga ditambahkan,
yaitu
parade
tandu
kuil
kecil
(mikoshi)
atau
kendaraan
hias
(dashi)
ataupun
keduanya.
Parade itu kemudian menjadi terkenal. Jika tidak terdapat parade-parade itu dalam
|