20
mengatakan bahwa Jepang tidak dapat menopang kebudayaan Barat, penggambaran
Yesus sebagai sosok yang keibuan dan
mengayomi yang menunjukkan perasaan orang
Jepang
yang
mendalam mengenai
figur
religius
yang
keibuan,
dan
membuktikan
teori
Endo bahwa kebudayaan barat tidak dapat memasuki Jepang tanpa dirubah bentuknya
sehingga sesuai dengan orang Jepang.
Dasar
Endo
dalam
merumuskan
teori
Mudswamp
adalah
hidupnya
sendiri.
Sebagai
orang Jepang
yang beragama Kristen, dia berjuang
mengenai
identitasnya sejak berusia
12
tahun,
ketika
dia
dipaksa
menganut
agama
tersebut oleh ibunya. Dia mengalami
kepahitan
karena
tidak
dapat
mengadaptasikan
identitas
Kristennya
kedalam identitas
Jepangnya
dan
kemudian
menarik
kesimpulan
bahwa
menyatukan
dua
hal
itu
adalah
tidak mungkin, tidak hanya pada masanya,
tetapi juga pada abad ke-17. Maxey
menceritakan kata-kata Endo mengenai identitasnya sendiri:
It was not just that I did not throw it off, but that I was unable to throw it off. The
reason for this must be that it had become a part of me after all. The fact that it had
penetrated me so deeply in my youth was a sign, I thought, that it had, in part a least,
become coextensive with me. Still, there was always that feeling in my heart that it
was something borrowed, and I began to wonder what my real self was like. This I
think is the Mudswamp Japanese in me. From the time I first began to write novels
even to the present day, this confrontation of my Catholic self with
the self that lies
underneath has, like an idiots refrain echoed and re-echoed in my work.
(Maxey, 1978:8)
Terjemahan:
Bukan hanya aku tidak membuangnya, tetapi karena aku tidak dapat membuangnya.
Alasan untuk ini haruslah karena hal ini telah menjadi bagian dari diriku. Fakta bahwa
hal itu telah merasuk dalamku sangat dalam dalam masa mudaku merupakan sebuah
tanda, aku pikir bahwa dalam beberapa bagian itu telah menjadi satu denganku. Tetapi,
jauh dalam hatiku ada suatu perasaan bahwa itu adalah sesuatu barang pinjaman, dan
aku mulai bertanya-tanya bagaimanakah sebenarnya
diriku ini. Inilah yang aku pikir
sebagai Mudswamp yang ada dalam diriku. Dari pertama kali aku menulis novel
sampai sekarang ini, pertentangan antara bagian diriku yang katolik dan yang
tersembunyi dibawahnya terus berulang-ulang dalam hasil karyaku seperti orang idiot.
|