21
Endo sendiri mengalami pengaruh dari Mudswamp. Dia tidak dapat menyingkirkan
identitas Kristennya karena cintanya terhadap
ibunya
yang
merupakan
seorang Kristen
yang taat. Rasa hormatnya untuk sang ibu, dan keterkejutannya melihat pengabdian
ibunya kepada gereja semasa masa
kanak-kanaknya tidak akan memperbolehkan dia
untuk mengabaikan agama
Kristen. Bagaimanapun,
dia
juga
tidak
dapat
sepenuhnya
mengadaptasi konsep barat mengenai agama Kristen ke dalam identitas Jepangnya. Ini
menunjukkan bagaimana perjuangan Endo sendiri dengan statusnya sebagai orang
Jepang Kristen yang mendesaknya untuk menyelidiki teori Mudswamp.
Sebagai tambahan, perasaan terkucilkan yang dirasakan Endo sebagai hasil dari
Mudswamp
orang
Jepang,
membuat
dia
bersimpati
terhadap
mereka
yang
mengalami
dilema
yang
sama
pada
abad
ke-17.
Dia
melihat
bahwa
orang-orang
yang
sepertinya,
tidak
dapat
menerima
bentuk
agama
Kristen
yang
dibawa
ke
Jepang
oleh
misionaris.
Sementara orang-orang ini berusaha untuk menggabungkan identitas Jepangnya dengan
kebudayaan baru dari
Barat yang
mereka
hadapi,
mereka juga harus berhadapan dengan
siksaan dan aniaya oleh pemerintahan
Jepang. Ini menambah kepastian dalam
kepercayaan Endo bahwa kebudayaan asing tidak dapat bertahan di Jepang dalam
bentuk
aslinya.
Usaha
untuk
membawa
dua
kebudayaan
berjalan
bersama,
berujung
pada perjuangan pribadi bagi
Endo,
yang
menyebabkan dia
untuk
menyelidiki perasaan
mereka yang mengalami hal yang sama dalam tulisannya. Lee (1994:23-24) menulis:
One feels
acutely in Endo's stories a weariness, a cultural disorientation, a sense
of lost or failed ideals, traceable to Imperial Japan's prewar years, a time to which
many of these characters harken in their memories. While he is most assuredly a
Catholic writer – once labeled a Japanese Graham Greene – for Endo the problem
of being a Christian in Japan is not an institutional one, but rather a deeply personal,
experiential one.
Terjemahan:
Dalam
cerita-cerita Endo, orang
dapat merasakan kelelahannya, penyimpangan
|