12
origin. A comparatively modern theory traces it to an Ainu word, kamui, meaning
he who or
that which covers or overshadows, and so represents divinity. The
generally accepted derivation, however, is that to be traced in modified meanings
of the same word kami, signifying that which is above or superior, in
contrast to shimo, signifying that which is below or inferior. The upper part
of the body is kami, while the lower part is shimo. A man of superior rank is kami,
while an inferior is shimo. Heaven is kami, earth is shimo.
Kami adalah kata dalam bahasa Jepang untuk menyebut dewa. Asal mulanya tidak
pasti.
Beberapa
orang
mengatakan
bahwa kami
berasal
dari
singkatan
kangami
yang berarti melihat, menilai ataupun memutuskan. Yang lain ada yang
mengatakan
bahwa
kata kami
berasal
dari
kata kabi
yang
berarti
misterius.
Pada
teori
modern, kata kami merujuk pada sebuah kata Ainu
yaitu kamui, yang berarti
Dia yang diselimuti bayangan dan melambangkan sifat dewa. Asal mula yang
diterima
secara
umum dapat diketahui dari kata kami
itu sendiri dengan arti
yang
dimodifikasi
yang berarti
atas atau
superior dikontraskan dengan shimo
yang
berarti
bawah.
Tubuh bagian atas disebut kami
sedangkan
tubuh bagian bawah
disebut shimo. Orang yang memiliki kedudukan yang tinggi disebut kami,
sedangkan
orang
yang
memilki
kedudukan
rendah
disebut shimo.
Surga
juga
disebut dengan kami sedangkan bumi atau dunia disebut sebagai shimo.
Dalam masyarakat
Jepang,
kami
tak
terhitung
jumlahnya
seperti
dewi
matahari
Amaterasu, jiwa-jiwa orang terhormat (prajurit, pejuang , penyair), leluhur dewa (Uji),
tempat-tempat
yang
memiliki
keindahan
alam yang
alami
(kayu,
pohon,
mata
air,
batu,
gunung), serta peristiwa-peristiwa alami (kesuburan, pertumbuhan, produksi). Kami
pada umumnya dipuja di kuil atau disebut dengan Jinja (??)yang merupakan
tempat tinggal para dewa, yang didirikan sebagai kehormatan bagi para dewa.
Masyarakat
Jepang
mempercayai
segala
sesuatu
yang
telah
diperoleh
merupakan
suatu pemberian
yang ditawarkan oleh para dewa
yang telah dipujanya.
Thakur (1992
:
2), menjelaskan sebagai berikut:
Shinto worship is characterised by a central ritual in which the earths produce is
offered to god. This is no doubt because the Japanese people traditional life-style
and sentiments were so profoundly shaped by nature.
Pemujaan
dalam
Shinto
ditandai
dengan
ritual
yang
berpusat
pada
hasil
bumi
yang telah dipersembahkan kepada dewa. Hal ini tidak diragukan lagi karena gaya
|