Home Start Back Next End
  
4
Bahasa Jawa
merupakan bahasa percakapan sehari-hari di kota ini, selain bahasa
Indonesia yang umum digunakan.
Semasa
pemerintahan Jaman
Kolonial,
pemerintah
Belanda
sering
mengirim
pasukan
tentara yang baru saja datang
dari
Eropa
ke kota
ini,
untuk
beristirahat
sementara
dan
membiasakan
diri
dengan
suhu
dan
cuaca.
Salatiga
dahulu
juga
dijadikan
perwakilan
kavaleri
dan
penyimpanan senjata
dari
KNIL
atau
Koninklijke
Nederlands(ch)-Indische Leger,
atau
diterjemahkan
secara
harafiah:
Tentara
Kerajaan
Hindia-Belanda. Kota
ini
berlokasi
dekat
dengan
benteng
William
di
Ambarawa
yang
merupakan
pertahanan
kuat
melawan
musuh
yang
menyerang Semarang.
Di
dekat
basis
militer
terdapat
lumbung
tempat
VOC
menyimpan kopi.
Tersebutlah seorang bernama Mr. Pierre de
la
Brethonière Hamar
(1794 – 1872),
perintis
kebudayaan kopi
di
kota
ini
dan
dijuluki
sebagai
Raja
Kopi,
yang
juga
merupakan pendiri Hotel Kalitaman.
Sejak 
1903   banyak 
lahan 
di 
Salatiga 
dipakai 
sebagai 
kebun 
kopi, 
dan
kebanyakan dimiliki
oleh
orang-orang
Belanda.
Inilah
yang
menjadi
asal
usul
banyaknya
kaum
ekspatriat—terutama warga
negara
Belanda—yang
memilih
untuk berdomisili di Salatiga bahkan hingga sekarang.
Untuk
mengakomodasi kebutuhan
pendidikan
komunitas
Belanda
maka
dibangunlah European
Elementary
School
(ELS)
di
Tuntang
dan
Second
European
Elementary school
di
Blauran.
Selain
itu
juga
ada
Dutch
Chinese
School
di
Margo
Sari.
Selain
sekolah-sekolah yang
disebutkan
di
atas,
masih
banyak
terdapat
institusi-institusi
pendidikan lain
di
Salatiga
termasuk
di
antaranya  Universitas  Kristen  Satya  Wacana,  Sekolah 
Tinggi 
Agama  Islam
Negeri (STAIN), dan Sekolah Tinggi Teologi Nusantara.
2.4
Warung Joglo Bu Rini
Pada
awalnya,
Arso
Sadjiarto—pendiri
Warung
Joglo
Bu
Rini—tidak
memiliki
rencana untuk mendirikan tempat
makan. Rumah di Jalan Mawar (lokasi Warung
Joglo Bu
Rini) semula merupakan milik orang tua dari Pak Arso, yang kemudian
dijadikan
rumah
induk
dan diperluas
dengan
membeli
tanah di
sebelahnya pada
tahun
2005.
Bangunan joglo
tadinya
didirikan
untuk
menampung
pertemuan-
pertemuan 
komunitas 
seperti 
paguyuban 
petani, 
perkampungan 
dan 
gereja
dimana keluarga Sadjiarto terlibat di dalamnya. Demikian
juga dengan rumah di
sebelah joglo, semula dimaksudkan untuk rumah pribadi keluarga Pak Arso.
Tetapi
seiring 
waktu, 
biaya  untuk 
perawatan
bangunan
baru 
semakin
berkembang sementara
pemasukan
tetap
pada
jumlah
yang
sama.
Belum
lagi
kehadiran 5 orang asisten rumah tangga yang ada di kedua rumah beserta 2 orang
tukang
kebun
yang
kurang
optimal
fungsi
kehadirannya. Untuk
mengimbangi
antara
pengeluaran dan
pemasukkan,
maka
tercetus
ide
untuk
membuat
sebuah
tempat 
di 
mana 
publik 
dapat 
menghabiskan 
waktu 
dengan 
bersantap 
dan
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter