36
atau
kelompok
penggemar
yang
rela
melakukan
apa
saja
demi
bertemu
idolanya.
Kelompok
penggemar
(fandom)
dipandang
sebagai
simptom (patologis)
yang
tampak
dari kemungkinan
runtuhnya
budaya,
moral
dan sosial
yang
tak
terelakkan
lagi mengikuti
transisi
dari masyarakat
pedesaan
dan agrikultural
menuju
masyarakat
industrial
dan urban.
Pada
tahapnya
yang
paling
lunak,
kelompok
penggemar
merepresentasikan
satu
upaya
yang
putus
asa untuk
mengompensasikan
kelemahan
kehidupan
modern.
Fandom cenderung
selalu
mengejar
kepentingan-kepentingan,
memamerkan
selera
dan preferensi
sehingga
sangat pas untuk berbagai
teks dan praktik budaya pop. Para khalayak
ini
dapat dikatakan memamerkan
kesenangan
mereka hingga menimbulkan
rasa emosional,
sementara
khalayak
dominan
senantiasa
mampu
menjaga
jarak
dan kontrol estetik yang terhormat.
Hal
ini
memperlihatkan bagaimana pasifnya khalayak penggemar
budaya pop dalam menerima isi media, sehingga mereka mau menggilai
sesuatu
yang dianggap
tidak
mempunyai
nilai estetika
seperti
halnya
budaya
dominan.
Namun
Jenson
tidak sependapat
dengan
istilah
khalayak
yang
pasif
sebab
menurutnya,
pandangan
ini
terbentuk
karena
adanya
dominasi
pemikiran
sosial
dari
kelompok masyarakat yang
lebih
dominan. Menurut Jenson,
terdapat
tiga
ciri utama
dalam
menandai
moda
pemberian
makna
budaya
penggemar
dalam
teks-teks
media,
yaitu:
(1) cara
penggemar
menarik
teks
mendekati
ranah
pengalaman
hidup
mereka;
(2)
peran
yang
dimainkan
melalui
pembacaan
kembali
dalam
budaya
penggemar;
(3) proses
yang
memasukkan
informasi program ke dalam interaksi sosial secara terus menerus (Storey,
2003: 157-158)
|