38
Konsumsi
di era
yang
disebut
Bre
sebagai
kapitalisme
mutakhir
ini
telah
mengalami pergeseran nilai dari tingkat konsumsi barang-barang kebutuhan
atau benda-benda
yang
mempunyai
kegunaan
langsung
dan mendesak,
menjadi
konsumsi
simbol-simbol
atau tanda-tanda.
Meaghan
Morris
menegaskan
bahwa
pusat perbelanjaan
digunakan
oleh
kelompok-kelompok
berbeda secara berbeda.
Terdapat
praktik-praktik
yang berbeda
dalam
menggunakan
suatu
pusat
perbelanjaan
pada
suatu
hari;
sejumlah
orang
bisa
ada
di
sana
sekali
seumur
hidup
mereka;
terdapat
pengguna-pengguna
yang sesekali
memilih
pusat
perbelanjaan
itu
dan
bukan
yang
ini
pada
hari
itu
untuk
alasan-alasan
khusus
atau
cukup
manasuka
saja;
orang
mungkin
belanja
di
satu
pusat
perbelanjaan
dan
pergi
ke pusat
perbelanjaan
lainnya
untuk
bersosialisasi
atau
berkeliling-
keliling.
Penggunaan
pusat-pusat
perbelanjaan
sebagai
tempat pertemuan
(dan
kadang
kala
untuk
berteduh
dan
bernaung
gratis)
oleh
orang-orang
muda,
para
pensiunan,
pengangguran
dan tunawisma
adalah
bagian
familiar
dari fungsi
sosialnya
yang
kerap
kali direncanakan,
kini,
oleh
manajemen
pusat
perbelanjaan
Ada sebuah
perumpamaan
yang
mengatakan
bahwa
pusat-pusat
perbelanjaan
tidak
lain
merupakan
katedral-katedral
konsumsi.
Konsumsi
tidak hanya
dipandang
sebagai
aktivitas
ekonomi
belaka
untuk
memuaskan
kebutuhan-kebutuhan
material.
Lebih dari
itu, konsumsi
juga berhubungan
dengan
mimpi
dan
hasrat,
identitas
dan
komunikasi.
Paul
Willis
dalam
Storey
(2003:171)
berpendapat
bahwa orang-orang
membawa
identitas
hidup ke
perdagangan
dan konsumsi
komoditas-komoditas
kultural
dan
juga
terbentuk
di
sana.
Mereka
membawa
pengalaman,
perasaan,
posisi
sosial,
dan
keanggotaan
sosial ke
pertemuan
mereka
dengan
perdagangan.
Karenanya,
mereka
membawa
tekanan
simbolik
kreatif
yang dibutuhkan,
tidak hanya
untuk
memahami
komoditas
kultural,
tetapi sebagian
melalui
komoditas
kultural
itu
mereka
memahami
kontradiksi
dan struktur
sebagaimana
mereka
mengalaminya di
sekolah, college, produksi, pertetanggaan, dan
sebagai
|