47
oleh kondisi dan kebijakan sosial yang menyenangkan,
sekaligus juga
menyengsarakan.
Iklan
TV
terus
mencekoki
kita
dengan
segala
kebutuhan,
keinginan
dan
naluri
yang wajib untuk
dipenuhi.
Kebutuhan
tersier
bahkan
berubah
posisi
menjadi
kebutuhan
primer.
Akibatnya,
orang-orang
bersandar
pada siklus
keinginan
yang tiada
putusnya.
Orang-orang
diarahkan
untuk
selalu
mempunyai
keinginan
terhadap
sesuatu yang baru, tanpa peduli apakah ia
benar-benar membutuhkannya. Orang-orang berusaha
mengikuti
lingkaran
setan konsumerisme
secara
terus
menerus.
Mereka
bekerja
ekstra
keras
untuk
membeli
segala sesuatu yang terbaru dan terbaik
yang sebetulnya
tidak
mereka
butuhkan
agar
menurut
mereka
bisa
menjadi
manusia
yang
terbaik.
Agar
aliran pengabdian diri kepada segala sesuatu yang paling baru ini bisa
diterima
oleh umat
manusia,
maka
para tokoh
aliran
yang
mendewakan
konsumerisme
ini harus
bekerja
keras
dalam
mengajarkan
agamanya.
Mereka
tidak sekedar
menjajakan
berbagai
produk
tetapi
juga
mengajarkan
sebuah
ideologi.
Mereka
mengembangkan
suatu
sistem
nilai yang
terus
menerus
membombardir masyarakat dengan pesan-pesan untuk memanjakan diri
sendiri dan
mendapat kepuasan secara
instan .
Untuk dapat memahami
sistem
nilai yang
mereka
kembangkan,
seseorang
hanya
perlu
melihat
pada
ungkapan-ungkapan
seperti aku
harus menjadi yang
pertama
atau
aku
harus
memilikinya atau
berikan
itu kepadaku.
Dewa
konsumerisme
inilah
yang menciptakan
dan menopang sistem kapitalis (Fredericks,100:2004).
Gaya
hidup
dalam
masyarakat konsumsi
dalam
kacamata
Baudrillard
tak
lebih
dari
pengaturan dan
penampakan
contoh
diskriminasi
sosial
berdasarkan
mode
yang
menciptakan
ketakjuban
sesaat (ephemeral
|