11
membantu perusahaan-perusahaan yang tidak mampu membayar pinjaman ke bank.
Hal ini dimanfaatkan oleh perusahaan pembiayaan rumah sehingga mendorong
pertumbuhan pembangunan perumahan murah, yang dijual melalui skema Subprime
Mortgage. Istilah Subprime memiliki arti orang-orang penerima kredit yang dinilai
memiliki resiko tinggi oleh penyedia kredit perumahan. Orang-orang ini adalah tipe
orang-orang yang tidak memiliki sejarah kredit yang baik, dan memiliki pendapatan
yang kurang atau tidak stabil (Arafat, 2009: 18).
Skema peminjaman Subprime Mortgage berbeda dengan model tradisional
peminjaman hipotek. Seperti yang terlihat pada Gambar 2.1, skema tradisional
berjalan dengan bank memberikan pinjaman, dan penerima pinjaman
membayar ke
bank. Sedangkan pada skema Subprime, bank menjual kumpulan hutang tersebut
(disebut sebagai Asset Backed Securities atau Efek Beragun Aset) sebagai portofolio
kepada bank investasi, yang akan dijual kembali kepada investor di seluruh dunia,
seperti bank komersial, perusahaan asuransi, investor perorangan, dan lain-lain. Alur
pembayaran yang terjadi adalah, penerima pinjaman membayar ke bank, yang
pembayarannya akan diteruskan kepada pemegang hutang. Hal ini menjadikan bank
yang memberikan pinjaman tidak lagi memiliki insentif untuk mengawasi dan
memeriksa secara teliti hipotek yang mereka keluarkan (Gerardi et al., 2008: 73).
Skema Subprime Mortgage
ini laku di masyarakat dan banyak orang dari
golongan menengah ke bawah membeli rumah dengan skema ini. Terjadilah
fenomena ekonomi yang disebut bubbling atau gelembung. Harga-harga rumah
pun beranjak naik pada tahun 2003-2005 dan sudah melebihi nilai normal atau
aslinya.
Periode ini menjadi bibit dari krisis Subprime Mortgage (Demyanyk &
Van Hemert, 2008: 4).
Para pembeli terlena dengan pencicilan tetap yang murah
selama 2 tahun, dan tidak menyadari bahwa setelah 2 tahun jumlah uang cicilan yang
|