yang datang dan menyutradarai Lily van Java (1928) pada perusahaan South Sea
Film Co. Kemudian kedua adiknya Joshua dan Otniel Wong menyusul dan
mendirikan perusahaan Halimoen Film.
Sejak tahun 1931, pembuat film lokal mulai membuat film bicara. Percobaan
pertama antara lain dilakukan oleh The Teng Chun dalam film perdananya Bunga
Roos dari Tjikembang (1931) akan tetapi hasilnya amat buruk. Beberapa film yang
lain pada saat itu antara lain film bicara pertama yang dibuat Halimoen Film yaitu
Indonesie Malaise (1931).
Pada awal tahun 1934, Albert Balink, seorang wartawan Belanda yang tidak
pernah terjun ke dunia film dan hanya mempelajari film lewat bacaan-bacaan,
mengajak Wong Bersaudara untuk membuat film Pareh dan mendatangkan tokoh
film dokumenter Belanda, Manus Franken, untuk membantu pembuatan film
tersebut. Oleh karena latar belakang Franken yang sering membuat film dokumenter,
maka banyak adegan dari film Pareh menampilkan keindahan alam Hindia Belanda.
Film seperti ini rupanya tidak mempunyai daya tarik buat penonton film lokal
karena dalam kesehariannya mereka sudah sering melihat gambar-gambar tersebut.
Balink tidak menyerah dan kembali membuat perusahaan film ANIF (Gedung
perusahaan film ANIF kini menjadi gedung PFN, terletak di kawasan Jatinegara)
dengan dibantu oleh Wong bersaudara dan seorang wartawan pribumi yang bernama
Saeroen. Akhirnya mereka memproduksi membuat film Terang Boelan (1934) yang
berhasil menjadi film cerita lokal pertama yang mendapat sambutan yang luas dari
kalangan penonton kelas bawah.
2.4.2 Periode 1942 - 1949
Pada masa ini, produksi film di Indonesia dijadikan sebagai alat propaganda
politik Jepang. Pemutaran fil di bioskop hanya dibatasi untuk penampilan film -film
propaganda Jepang dan film-film Indonesia yang sudah ada sebelumnya, ehingga
bisa dikatakan bahwa era ini bisa disebut sebagai era surutnya prodkusi film
nasional.
Pada 1942 saja, Nippon Eigha Sha, perusahaan film Jepang yang beroperasi
di Indonesia, hanya dapat memproduksi 3 film yaitu Pulo Inten, Bunga Semboja dan
Lenyapnya usaha swasta di bidang film dan sedikitnya produksi yang dihasilkan oleh
studio yang dipimpin oleh Jepang dengan sendirinya mempersempit ruang gerak dan
kesempatan hidup para artis dan karyawan film dan pembentukan bintang-bintang
baru hampir tidak ada. Namun mereka yang sudah dilahirkan sebagai artis tidaklah
dapat begitu saja meninggalkan profesinya. Satu-satunya jalan keluar untuk dapat
terus mengembangkan dan memelihara bakat serta mempertahankan hidup adalah
naik panggung sandiwara. Beberapa rombongan sandiwara profesional dari zaman
itu antara lain adalah Bintang Surabaya, Pancawarna dan Cahaya Timur di Pulau
Jawa. Selain itu sebuah kumpulan sandiwara amatir Maya didirikan, dimana
|