Start Back Next End
  
didalamnya bernaung beberapa seniman-seniwati terpelajar dibawah pimpinan
Usmar Ismail yang kelak menjadi Bapak Perfilman Nasional.
2.4.3 Periode 1950 - 1962
Hari Film Nasional diperingati oleh insan perfilman Indonesia setiap tanggal
30 Maret karena pada tepatnya tanggal 30 Maret 1950 adalah hari pertama
pengambilan gambar film Darah & Doaatau Long March of Siliwangi yang
disutradarai oleh Usmar Ismail. Hal ini disebabkana karena film ini dinilai sebagai
film lokal pertama yang bercirikan Indonesia. Selain itu film ini juga merupakan fil
pertama yang benar-benar disutradarai oleh orang Indonesia asli dan juga diproduksi
oleh perusahaan film milik orang Indonesia asli yang bernama Perfini (Perusahaan
Film Nasional Indonesia) dimana Usmar Ismail tercatat juga sebagai pendirinya.
Selain itu pada tahun 1951 diresmikan pula Metropole, bioskop termegah dan
terbesar pada saat itu. Pada masa ini jumlah bioskop meningkat pesat dan sebagian
besar dimiliki oleh kalangan non pribumi. Pada tahun 1955 terbentuklah Persatuan
Pengusaha Bioskop Seluruh Indonesia dan Gabungan Pengusaha Bioskop Seluruh
Indonesia (GAPEBI) yang akhirnya melebur menjadi Gabungan Bioskop Seluruh
Indonesia (GABSI).
Pada masa itu selain PFN yang dimiliki oleh negara, terdapat dua perusahaan
perfilman terbesar di Indonesia, yaitu Perfini dan Persari (dipimpin oleh
2.4.4 Periode 1962 - 1965
Era ini ditandai dengan beberapa kejadian penting terutama menyangkut aspek
politis, seperti aksi pengganyangan film-film yang disinyalir sebagai film yang
menjadi agen imperialisme Amerika Serikat, pemboikotan, pencopotan reklame,
hingga pembakaran gedung bioskop. Saat itu Jumlah bioskop mengalami penurunan
sangat drastis akibat gejolak politik. Jika pada tahun 1964terdapat 700 bioskop, pada
tahun berikutnya, yakni tahun 1965 hanya tinggal tersisa 350 bioskop.
2.4.5 Periode 1965 - 1970
Era ini dipengaruhi oleh gejolak politik yang diakibatkan oleh peristiwa
G30S PKI yang membuat pengusaha bioskop mengalami dilema karena mekanisme
peredaran film rusak akibat adanya gerakan anti imperialisme, sedangkan produksi
film nasional masih sedikit sehingga pasokan untuk bioskop tidak mencukupi. Saat
itu inflasi yang sangat tinggi melumpuhkan industri film. Kesulitan ini ditambah
dengan kebijakan pemerintah mengadakan sanering pada tahun 1966 yang
menyebabkan inflasi besar-besaran dan melumpuhkan daya beli masyarakat. Pada
akhir era ini perfilman Indonesia cukup terbantu dengan membanjirnya film impor
sehingga turut memulihkan bisnis perbioskopan dan juga meningkatkan animo
masyarakat untuk menonton yang pada akhirnya meningkatkan jumlah penonton.
2.4.6 Periode 1970 - 1991
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter