berhasil untuk memperlancar peredaran film nasional. Sebaliknya, pada awal dekade
80-an terjadi penumpukan puluhan, bahkan ratusan film nasional yang menunggu
giliran beredar.
Kondisi yang tidak sehat ini gagal diatasi. Sehingga PT Perfin menjadi beban
terhadap perfilman nasional tanpa memberikan kontribusi yang produktif.
Penumpukan film nasional yang tidak berhasil diedarkan sangat memukul kegiatan
usaha para anggota PPFI. Walaupun sering disebutkan bahwa "film merupakan karya
kreatif", tetapi yang menanggung resiko keuangan adalah anggota PPFI. Hal ini jelas
benar pengaruhnya terhadap PPFI sebagai organisasi yang wajib memperjuangkan
kepentingan para anggotanya.
Sejalan dengan reformasi politik, berbagai peraturan dan ketentuan yang mngekang
perfilman secara berangsur-angsur mulai dikurangi. Tidak ada lagi izin produksi
film, sehingga PPFI tidak lagi memungut dana rekomendasi dari anggotanya. Oleh
karena itu, pengurus PPFI harus lebih kreatif untuk mencari dana untuk kepentingan
jalannya organisasi. Sejauh ini, PPFI tetap bisa berjalan dan melakukan berbagai
kegiatan dalam menunjang dan turut mengembangkan iklim produksi yang lebih
baik. Jadi, walaupun tidak lagi memiliki "kekuasaan" setelah reformasi, tetapi PPFI
tidak menjadi organisasi yang "gamang". Tidak merasa kehilangan pamor, karena
PPFI memang tidak pernah tumbuh sebagai birokrat atau "penguasa".
Ketika didirikan PPFI didukung oleh 16 perusahaan film. Jumlah anggota tersebut
berkembang dari tahun ke tahun. Tahun 1977 anggota PPFI tercatat 114 perusahaan.
Sejalan dengan implementasi Undang-undang No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman,
mulai tahun 1998 anggota PPFI tidak lagi terbatas pada perusahaan produksi
film selluloid, tetapi juga perusahaan produksi film dengan menggunakan media
video. Anggota yang tercatat pada saat itu 167 perusahaan. Tahun 2001 anggota
PPFI tercatat 119 perusahaan dan pada tahun 2006 menjadi 139 perusahaan. Tahun
2007 saat PPFI menyelenggaran Kongres ke 17 di Jakarta anggota PPFI tercatat 150
perusahaan. Melalui Kongres ini pula anggota dan pengurus PPFI memilih Raam
Punjabi (PT Tripar Multivision Plus) sebagai Ketua Umum dan HM Firman Bintang
(PT Bintang Inova) sebagai Sekretaris Jenderal PPFI masa bakti 2007-2010.
Pamor PPFI cenderung stabil meskipun dari segi keangotaan jumlah pasang surut
sesuai situasi dan kebutuhan perfilman pada zamannya. Kestabilan pamor PPFI juga
dapat dilihat dari penyelenggaraan Festival Film Asia Pasifik (FFAP) di Jakarta
tahun 2001, tanpa dukungan Pemerintah Pusat sebagaimana beberapa kali FFAP
sebelumnya. Tetapi dilaksanakan oleh PPFI dengan menggandeng Pemerintah DKI
Jakarta dan pihak swasta. Tanpa pamor dan kredibilitas yang baik tentu kerjasama
tersebut sulit dilaksanakan. Hal ini juga sebagai komitmen PPFI sebagai pendiri dari
Festival Film Asia Pasifik (FFAP). Tahun 2006 bersama GASFI, PPFI berhasil
memperjuangkan pembebasan pajak impor atas bahan baku dan peralatan film. Di
tahun yang sama PPFI telah bekerjasama dengan Academy of Motion Picture Arts
and Sciences untuk membentukCommittee members.
Sesuai amanat Kongres, PPFI bersama organisasi perfilman lainny ikut
memperjuangkan peninjauan Undang-Undang Perfilman dan Peraturan-peraturan
pelaksanaannya agar menampung kebutuhan atau tuntutan reformasi dibidang
perfilman. Diantaranya, agar fungsi stasiun televisi sebagai lembaga penyiaran lebih
|