23
memproduksi pesawat televisi di Amerika Serikat, mereka dengan cepat menetapkan
perubahan
yang
drastis
dalam
menjalankan perusahaan. Di
bawah
manajemen
Jepang, perusahaan segera memproduksi televisi dengan jumlah kerusakan satu
dibanding dua puluh yang mereka pernah produksi di bawah manajemen Motorola.
Pada
tahun
1981
Motorola
menghadapi
tantangan tersebut dengan mengevaluasi
kualitasnya
hingga
5
kali
dalam 5
tahun
namun
tetap
saja
tidak
berhasil.
Kemudian
Motorola
dengan
Bob
Galvin
sebagai
CEO-nya
memutuskan
untuk
menekuni
kualitas dengan serius dengan mengembangkan suatu proses yang konsisten
berdasarkan pendekatan statistik.
(Brue,
2002)
Akhirnya
pada
tahun 1986, Bill Smith, seorang ahli dan senior
engineer di Divisi Komunikasi Motorola yang juga seorang ahli
statistik,
menyimpulkan bahwa bila suatu produk cacat dan diperbaiki pada waktu produksi
maka
cacat-cacat
lain
mungkin
akan
terabaikan.
Dengan
kata
lain,
rata-rata
kegagalan
proses
jauh
lebih
tinggi
ketimbang yang ditunjukkan oleh tes-tes akhir
produk. Maksudnya?
Bila produk dirakit secara sama sekali bebas cacat, mungkin
produk
itu
kelak
tidak
akan
mengecewakan pelanggan. Dari sinilah Six Sigma
bertolak,
Dr.
Mikel
J
Harry,
pendiri
Motorola Six Sigma Research Institute,
selanjutnya memperhalus metodologinya, bukan saja untuk menghapus pemborosan
tetapi juga mengubahnya menjadi pertumbuhan.
Kemudian
ide
tersebut
diajukan
kepada
CEO
Motorola
yaitu
Bob
Galvin,
yang
kemudian
ide
tersebut
dijadikan
sebagai pedoman/acuan untuk menyelesaikan
permasalahan
kualitas
yang
ada
di
Motorola pada
saat
itu.
Six
Sigma
dijadikan
sebagai
strategi
utama Motorola
untuk
dapat
menghasilkan
produk-produk yang
|