7
departemen TI dan unit bisnis dalam memandang suatu layanan TI (Utomo, 2008).
Ketika
kualitas
layanan
menjadi
tema sentral
banyak
perusahaan,
pola
hubungan
antar departemen diterjemahkan
dalam perjanjian service level,
yaitu kontrak
internal
bagaimana satu departemen melayani departemen lainnya sebagai internal customer .
Saat
perjanjian
tersebut
menyentuh
departemen
TI
,
kesenjangan
mulai
muncul karena perbedaan bahasa dan protokol yang digunakan. Departemen
TI akan
mendominasi
penyusunan
perjanjian service
level tersebut,
sehingga
yang
muncul
adalah
terminologi-terminologi teknis yang tidak dimengerti
atau
bahkan tidak
menjadi perhatian
unit bisnis.
Misalnya, tingkat ketersediaan
jaringan, response time
jaringan, kecepatan proses batch , dan
lain sebagainya. Selain
itu, service
level yang
diberikan
akan
mengacu
pada
pendekatan fraksional seperti perjanjian kinerja
jaringan, perjanjian kinerja server, perjanjian kinerja database, dan lain-lain dan
bukan pada pendekatan
integral
yang dibutuhkan bisnis,
yaitu kualitas delivery sistem
secara end to end.
Di
sisi
lain,
manajer bisnis selalu
melihat apakah operasi back office berjalan
lancar, atau
apakah customer
terlayani
dengan
baik,
dan
apakah
bisnis
dapat
dijalankan
dengan
biaya yang
rendah.
Suatu
layanan
bisnis
tergantung
pada
serangkaian proses yang
menjamin
semuanya tereksekusi dan
memiliki kinerja
seperti
yang diharapkan. Karenanya, pendekatan service level yang bersifat
fraksional
tidak akan mampu menyatu dalam sudut pandang seperti itu.
|