Home Start Back Next End
  
16
penanganan  secara  total  mulai  dari  mutu  masakan,  pegawai,  hingga  ‘mutu’
visualnya.
Tentu
identitas
visual
ini
menghabiskan biaya
yang
tak
sedikit,
sehingga kadang
timbul anggapan bahwa ‘kita
membayar mahal bukan
hanya
untuk
makanannya,
tetapi
untuk
desain
dan
suasana/
atmosfir
tempatnya’. Tetapi
biaya
ini
bisa
dikatakan
merupakan sebuah ‘investasi’ bagi para pemilik
tempat
usaha—dalam
hal
ini
tempat
kuliner—
untuk
menarik
perhatian
pelanggan sebagai
langkah
pertama. Jika
dirunut,
bisa
dikatakan setelah
langkah
pertama sukses,
barulah
kualitas makanan dan atmosfir di dalam tempat kuliner tersebut yang berbicara.
Di
samping
itu,
banyak
konsumen
menghendaki harga
sebaiknya
sebanding
dengan
kualitas
makanan/ minuman
dan
desain
serta
atmosfirnya.
Konsumen
justru
akan
lebih
toleran
terhadap
tempat
kuliner
yang
mutunya baik
dengan
visual
yang
‘kurang’
daripada tempat
kuliner
yang
‘wah’
tetapi
kualitas
makanannya di bawah rata-rata.
Apresiasi
publik
terhadap
‘visual
yang
baik’
juga
telah
meningkat, terbukti
dengan
banyaknya responden
yang
tertarik
untuk
makan/
menjadi
konsumen
di
suatu
tempat kuliner
karena awalnya tertarik
dengan
logo/
suasana
tempat
tersebut.
Selain
itu,
kebanyakan responden
sudah
mengerti
bahwa
mereka
tidak
hanya
membayar
untuk makanan, tetapi
juga
ide, konsep atau desain dan suasana
yang
nyaman.
Malahan,
ada
juga
yang
rela
membayar lebih
justru
karena
menyukai suasana
atau
dekorasi
dan
atmosfir
yang
dihadirkan oleh
pemilik
tempat,
dan
senang
menghabiskan waktu
di
tempat
tersebut
tanpa
memesan
banyak makanan/minuman.
Banyaknya
alternatif
makanan di
luar
rumah, dorongan komersialisme dan
gaya
hidup
serta pengaruh dari orang-orang terdekat membuat kebanyakan konsumen
‘menyerah’
dan
mengikuti arus.
Pada
saat
ini,
begitu
banyak
orang
yang
datang
ke tempat-tempat tertentu
supaya dipandang ‘keren’—dengan kata
lain, sebagai
gengsi. Sebagai contoh, sulit dibedakan apakah seseorang
mengkonsumsi
segelas
kopi
di  sebuah
gerai
ternama
karena
memang
kebiasaan
dan
memang
ingin
mengapresiasi atmosfir
dari
minum
kopi
itu
sendiri,
ataukah
orang
tersebut
terdorong oleh
nafsu
ingin ‘terlihat keren’ sehingga rela menghabiskan beberapa
puluh
ribu
sekaligus
hanya
untuk
secangkir
kecil
kopi. 
Tapi
kembali
ke
topik
semula,
seperti
halnya
selera
makan
publik
yang
cepat
berubah,
tren
seperti
inipun ikut berubah.
Lisa
Siregar,
dalam
artikel
:
“A
Home
Cooked 
Future
for
Indonesian
Food”
pada situs
The
Jakarta
Globe
menuliskan bahwa
tren
kuliner—terutama di
kota-
kota 
besar—sangat 
dinamis. 
Walaupun 
begitu, 
mayoritas 
dari   konsumen
sekarang terutama mencari 2 hal ini: “otentisitas” dan “masakan rumah”.
Menurut
“MakanMakan:
Indonesian
Story
on
Food”—survey
yang
dilakukan
oleh
DDB
Indonesia
berbasiskan
120
orang
konsumen—sekarang ini
orang-
orang 
makan
di
luar
karena
telah
merasa
optimis
akan
keadaan
keuangan
dan
adanya   kesempatan   di  
masa   depan.   Sementara   sebagian   lainnya   adalah
Word to PDF Converter | Word to HTML Converter